The Secret Admirer
Senyuman tipis itu masih terbingkai di wajah
dinginnya yang misterius. Hari ini dia melemparkan senyuman super irit itu ke
arah seorang nenek yang baru masuk ke dalam bus, dengan sopan, ia bangkit
berdiri dari kursinya dan mempersilakan nenek itu duduk di kursi yang tadi
didudukinya karena semua kursi bus telah terisi, dia dengan santainya berdiri
sambil sebelah tangannya berpegangan pada besi pegangan yang bergantung
diantara kedua baris kursi bus.
Aku segera bangkit dari kursiku dan ikut berdiri
beberapa jengkal di belakangnya sambil berusaha bersikap biasa – biasa saja,
walaupun sebenarnya dadaku sungguh berdegup keras. Senang rasanya bisa ada
sedekat ini dengan pria yang selama ini kucintai. Ya, aku mencintai pria yang
kini berdiri di hadapanku. Memandangi punggung tegapnya dari belakang seperti
ini saja dapat membuat jantungku serasa hendak melompat keluar dari tempatnya.
Entah sudah berapa lama aku menyukainya, yang kuingat, aku pertama kali
melihatnya di bus ini.
Saat itu malam sudah larut ketika aku pulang
bekerja part time. Aku seorang diri di bus ini. Berusaha menghibur diri dengan
mengamati jalan kota Seoul dengan hiasan lampu – lampu toko yang menemani
perjalanan pulangku. Tiba – tiba bus berhenti di salah satu tempat
pemberhentian, saat itulah aku melihatnya, si pemilik senyum dingin yang
misterius. Dia masuk ke dalam bus dengan wajah lelah, aku tak tahu jelas apa
yang kupikirkan saat itu. Biasanya aku bahkan tak pernah peduli dengan siapa
saja orang yang keluar masuk bus, tapi kali itu berbeda, mungkin karena hanya
ada kami berdua di bus aku jadi memperhatikan gerak – geriknya. Dia melangkah
dengan santai ke dalam bus dengan earphone yang terpasang di telinganya. Saat
itulah dia melemparkan senyuman pertamanya padaku seraya mengambil tempat di
seberang tempat dudukku, di dekat jendela. Aku membalas senyuman itu dengan
senyum sopan. Senyum itu seperti menarikku untuk terus memperhatikan gerak –
geriknya, tanpa kusadari, walaupun dia tidak menyadari bahwa aku
memperhatikannya.
Pria itu asyik memperhatikan keadaan diluar
bus lewat jendela, sileut wajah tampannya dari samping terlihat sungguh memukau
dimataku. Mata hitamnya yang tidak terlalu sipit terlihat seperti menerawang
jauh, entah apa yang dipikirkannya, aku sungguh penasaran. Dua puluh menit
perjalanan terasa begitu cepat bagiku, kami turun di pemberhentian yang sama.
Dia turun lebih dulu dariku dan berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah
rumahku.
Sejak hari itu, setiap kali aku naik bus
jalur ini, aku selalu saja bertemu dengan pria itu. Aku selalu
memperhatikannya, dan tanpa kusadari pula, hal itu sudah menjadi kebiasaanku
sehari – hari. Jika sehari saja aku tidak melihatnya, aku akan uring – uringan
dan panik setengah mati, aku bisa menjadi sangat khawatir dan memikirkan hal aneh
mengenai pria itu. Setelah sikap anehku itu, pelan – pelan aku mulai menyadari
bahwa aku menyukai pria asing yang entah tak kuketahui namanya itu. Ya,
walaupun aku sangat menggilai pria itu, tapi aku bukanlah tipe wanita yang akan
menyapa orang asing terlebih dahulu apalagi untuk berkenalan. Aku tak ingin dia
menganggapku gadis genit, jadi aku tetap menahan diriku untuk menghampirinya.
Terkadang kupikir, aku harus bertindak, setidaknya aku harus mencoba berkenalan
dengannya. Aku tak ingin selamanya jadi pengagum rahasia yang hanya bisa
menatapnya dari kejauhan. Mungkin suatu saat nanti. Suatu saat… selalu saja itu
yang terlintas dibenakku setiap kali melihat pria itu. Aku tak pernah berani
memulai. Dan selamanya ini tidak akan pernah dimulai jika aku tak pernah
memulainya. Apa aku harus memulainya? Diriku?
Aku menghela napas dalam – dalam, kualihkan
pandanganku dari punggung pria dihadapanku ke jendela, matahari pagi bersinar
terang pagi ini, jalan kota Seoul mulai ramai. Bahkan dunia pun berdetak tanpa
keraguan, lantas apa yang kupikirkan? Kenapa aku masih juga tak berani
menyapanya?
Lamunanku terhenti ketika tiba – tiba bus
mengerem di tempat pemberhentian. Pria dihadapanku itu langsung melangkah
keluar bus. Aku butuh beberapa detik untuk mencerna apa yang terjadi sebelum
akhirnya aku mengikuti pria itu turun karena ini juga pemberhentianku.
Setelah turun dari bus, pria itu berjalan ke
arah seperti biasanya, arah yang berlawanan denganku. Aku menghela napas dan
meyakinkan diriku. Untuk kali ini saja, jika hari ini tidak berhasil, aku tidak
akan berani mencobanya lagi. Aku pun melangkah mantap mengikuti pria itu,
seperti seorang penguntit saja. Akhirnya, tibalah kami disebuah bangunan.
Bangunan yang tak asing bagiku. Pria itu berjalan menaiki tangga dan masuk ke
bangunan itu, sementara aku hanya terdiam bingung menatap bangunan dihadapanku.
Ditempat ini abu eomma-nya disimpan.
Apa pria itu juga ingin menengok abu keluarganya? aku mengangkat bahu dan
langsung berlari masuk ke bangunan makam. Karena sudah terlanjur kesini, aku bisa
sekalian mendatangi makam eomma.
Aku mencari – cari pria itu. Aku
menghentikan langkahku ketika melihat sosok pria itu sedang berdiri di hadapan
sebuah altar. Aku terdiam. Berusaha mencerna apa yang kulihat. Dia berdiri di
depan altar eomma. Eomma-ku!
Napasku serasa tercekat ditenggorokan. Udara
disekitarku serasa menyesakkan dada. Siapa pria itu sebenarnya? Sedang apa dia
di depan altar eomma?
Tubuhku serasa kaku dan sulit digerakkan.
Mataku terfokus pada sosok yang ada di depan altar eomma. Kini, pria itu sedang
menangis. Kenapa pula ia menangis untuk eomma?
Dengan dada yang bergetar, aku membuka tas
tangan yang tergantung di pundak kananku. Aku mengeluarkan selembar foto yang
sudah lusuh. Foto ini adalah foto
keluargaku dulu. Keluarga yang masih utuh. Keluarga yang sudah tak kumiliki
lagi sejak belasan tahun lalu. Kutatap foto ditanganku dengan air mata yang
sudah mulai mengalir. Dalam foto ini, ada Appa,
eomma, aku, dan…seorang anak laki –
laki lucu yang kupanggil Oppa kala
itu.
Jantungku berdebar keras, perlahan aku
mengangkat kepala dari foto ditanganku dan kembali menatap pria itu. Dia masih
menangis di depan altar eomma. Tangisnya makin menjadi, membuat aku juga tak
bisa menahan air mata.
Kupandang pria dihadapanku dan sosok Oppa di
fotoku. Apa pria itu…?
Aku menggeleng, tidak, mana mungkin!
Tapi jika dia bukan, kenapa dia menangis
seperti itu di depan makam eomma?
Kuberanikan diriku, perlahan, kutarik
napasku untuk mengatur emosi,
“Jung Ji Hoon!” panggilku dengan suara yang
kuusahakan sekeras mungkin. Tapi sepertinya suara yang kukeluarkan tak kekeras
yang kuharapkan. Pria itu tidak menoleh sedikit pun. Hatiku mulai lega.
Aku harus memastikannya sekali lagi, “Ji
Hoon-oppa!”
Aku hanya bisa mematung tak percaya ketika
tiba – tiba, dengan pelan tapi pasti pria itu menoleh menatapku dengan mata
hitamnya yang dalam. Mata hitam yang membuatnya terlihat mirip dengan Appa,
juga mirip dengan mataku. Foto ditanganku jatuh bebas ke lantai.
Pria yang selama ini kucintai diam – diam,
ternyata adalah oppa kandungku sendiri. Tuhan, tolong biarkan aku menyimpan
perasaan ini. Biarkan aku melupakan perasaanku padanya.
***
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan bahasa yang sopan dan mohon tidak menyebarkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.