Annyeong 2005!!! Chapter 6 (Cross Gene Fanfiction)

CHOI SUN HEE 
DAN PENGHUNI 2005 YANG LAIN


Seyoung membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa berat dan kerongkongannya kering. Dimana ini? Ia berusaha mengenali tempat ini. Pelan – pelan kesadarannya mulai kembali. Ia menatap sekelilingnya. Ini kamarnya di dorm. Ia memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Hanya ada dirinya di kamar itu. Ranjang milik Yongseok dan Shin sudah kosong tak berpenghuni.

Dengan langkah terseret ia berjalan keluar kamar dan mendapati Yongseok, Sangmin dan Casper sedang duduk  mengelilingi meja makan dengan tampang berantakan.

“Annyeong, hyung!” sapa Sangmin dengan suara serak.
“Kajja, duduk sini!” Yongseok menepuk kursi kosong di sebelahnya. “Aku membuat teh madu. Apa kau mau?”

Seyoung mengangguk dan duduk di sebelah Yongseok. “Rasanya aku seperti igin mati.”
“Jangan mati, hyung! Aku tidak mau jadi kakak tertua.” Balas Casper dengan tawa ringan.
Yongseok meletakkan secangkir teh madu di hadapan Seyoung, dan kembali duduk. “Semalam, siapa yang masih bangun? Apa manajer yang membawa kita kesini?”

“Mungkin…” Sangmin meneguk teh madunya sedikit, “Oh ya, kemana Takuya dan Shin?”
Seyoung menatap ketiga temannya heran, “Memangnya mereka tidak ada?”
“Mereka tidak ada disini.” Yongseok menjawab ringan, “Aku belum menelpon.”
Seyoung segera bangkit berdiri dan berlari ke kamarnya.
“YA! Hyung, kau mau kemana?” teriak Casper.

Seyoung mencari ponselnya. Kemana perginya benda itu? Ia langsung menyambar ponselnya ketika menemukan benda itu tersembunyi di balik bantal. Tanpa basa – basi, ia langsung menekan nomor ponsel Takuya.
Nada sambung terdengar, tepat di deringan ketiga, suara Takuya terdengar, “Takuya, kau dimana?”
***

Takuya menghentikan aktivitas memasaknya ketika ponselnya berdering pagi itu. Ia merogoh benda berisik itu dari dalam saku celemek dan memenadangi nama yang muncul di layar ponselnya.

“Ne, yeoboseyo?” sapanya ringan.
Dari seberang sambungan suara Seyoung terdengar panik, “Takuya, kau dimana?”
“Aku ada di apartemen Shin,hyung.” Sahutnya sambil memindahkan piring ke meja makan. “Maaf karena tidak mengabari kalian.”

“Oh, baiklah.” Seyoung terdengar lega, “Tapi, semalam tidak terjadi apa – apa kan?”
“Tidak ada apa – apa. Jangan khawatir.” Takuya berkata menenangkan. “Ada sesuatu yang harus kubicarakan dengan Shin. Karena itu aku mengajaknya kesini.”

“Sesuatu?” tanya Seyoung heran, “Apa itu tentang sikap Shin yang aneh belakangan ini?”
“Apa?” Takuya bertanya walaupun ia sebenarnya mendengar jelas apa yang Seyoung katakan.
Seyoung memelankan suaranya, “Sebenarnya aku tahu sikap Shin memang berubah belakangan ini.”
Takuya tahu teman – temannya khawatir, tapi ia tidak ingin memberi tahu mereka masalah Shin sekarang. Karena ia sendiri pun belum tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi.

“Aku kesini untuk memastikan suatu hal.” Ujar Takuya akhirnya, “Kuharap dugaanku salah. Tapi, kalian tidak perlu khawatir. Kami akan baik – baik saja.”

Takuya menoleh ke belakang saat didengarnya suara kaki melangkah mendekat. Shin berjalan mendekatinya dengan langkah terseok –seok dan mata setengah terpejam. Setelah mengucapkan salam penutup di telepon, ia memasang senyuman lebarnya pada Shin.

“Selamat pagi, apa tidurmu nyenyak?” tanyanya berbasa – basi. Tanpa Shin minta, Takuya langsung menyodorkan secangkir the madu, “Minum ini dulu, apa kepalamu agak pusing?”
“Sangat,” sahut Shin lalu dengan patuh meminum tehnya. Ia lalu menatap Takuya yang kini duduk di hadapannya, “Kenapa kita disini? Lalu, kau rajin sekali bangun pagi – pagi dan memasak sebanyak ini?”
“Aku ada wawancara pagi ini. Dan soal kenapa kita ada disini, ada yang ingin aku bicarakan.” Takuya mengaku terus terang.
“Oh, ya, tentang apa?” Dengan tenang Shin mulai memakan masakan Takuya, “Hm, ini enak.” Komentarnya.
Takuya memasang raut wajah serius, setelah mempertimbangkan apa yang akan terjadi, akhirnya Takuya membuka mulut, “Ini tentang kelakuanmu belakangan ini.”
“Hm?” Shin hanya bergumam sambil tetap makan dengan lahap.
“Kurasa bukan hanya aku yang menyadarinya. Member lain juga sepertinya sadar dengan tingkah anehmu. Tapi mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Shin mengunyah makanannya, setelah mulutnya kosong, ia pun tersenyum. Kembali mencoba menutupi apa yang sebenarnya ia rasakan. Semalam ia minum begitu banyak dan berharap perasaannya menjadi lebih ringan. Pagi ini, ia merasa lebih baik, walaupun hanya sedikit, setidaknya cukup untuk meyakinkan Takuya bahwa ia baik – baik saja.

“Aku tidak apa – apa. Seperti yang kau lihat.”
“Kau tidak terlihat baik di mataku.” Balas Takuya, lantas membuat Shin tertawa.
“Aku mengenalmu.” Lanjut Takuya, “Tidak, aku tidak hanya mengenalmu. Aku tahu semua tentangmu.”

Tawa Shin lenyap digantikan oleh ekspresi aneh yang Takuya sendiri tak mengerti apa artinya. Apa sahabatnya itu marah, kaget, sedih, atau justru tak merasakan apa – apa?
Takuya sudah terlanjur menyerang. Ini saatnya.
“Apa kau tidak penasaran kenapa aku bisa masuk kesini?”
Shin terpaku. Sebisa mungkin ia mengalihkan pandangan dari Takuya. Takut – takut sahabatnya itu bisa membaca isi kepalanya, bahkan isi hatinya.
“Aku tidak ingin tahu,” sahutnya asal.
“Tapi aku ingin memberitahumu.”
“Aku tidak ingin dengar.”
“Shin-a…” Takuya meninggikan suaranya, “Itu karena kau tidak pernah mengubah kodenya. Sejak terakhir kali aku mampir kesini, kodenya tidak pernah kau ubah. Kau tahu itu kapan? Sudah lama sekali. Dua tahun lalu…”

Shin meletakkan sendoknya ke meja dengan gerakan kasar, “ Memangnya kenapa kalau aku tidak mengubah kode? Aku hanya malas menghafal kode baru.”

Takuya menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. Kali ini ia berkata dengan nada lebih tenang, “Bukan itu maksudku, kau tahu jelas apa yang kumaksud. Kodemu adalah tanggal ulang tahun Sun Hee. Apa berarti kau masih belum bisa melupakannya?”

Tebakan itu serasa menghujam jantung Shin. Matanya tiba – tiba terasa begitu panas, darahnya mengalir deras, perasaan takut itu kembali terasa. Rasa takut yang terbesar yang pernah ia alami seumur hidupnya, ketika apapun yang ia lakukan tak akan berguna. Ketika orang yang paling ia cintai pergi menjauh darinya. Dan pada saat itu, ia merasa menjadi orang paling bodoh di dunia.

“Foto itu juga masih ada di kamarmu,” Lanjut Takuya lirih, “Jika benar kau seperti ini karena mengingatnya, aku bisa maklum. Tapi kau tahu, kau harus mulai memaafkan dirimu sendiri, Shin. Itu yang terpenting. Selama ini aku tahu kau tidak bisa melakukannya, kau selalu menyalahkan dirimu atas apa yang menimpa Sun Hee.”

Dengan segenap kekuatannya, Shin mengangkat wajah menatap Takuya. Rahangnya terkatup rapat. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada sepatah katapun yang meluncur. Akhirnya, Shin memilih pergi meninggalkan Takuya.
Rasa sakit dari hati Shin, tak akan ada yang bisa mencabutnya. Bahkan orang yang menyebakannya sekalipun. Karena nasi sudah menjadi bubur. Dan apa yang telah terjadi, tak akan bisa terulang kembali.
***

Anak – anak rambutnya yang tak terikat ke belakang beterbangan tertiup angin. Pagi itu, Yoo Ra berjalan di trotoar, hanya mengenakan kaus longgar dan celana pendek. Ini hari minggu, dan ia ingin menikmati waktu berjalan – jalan pagi menghilangkan penat. Walaupun cuaca sangat cerah, Yoo Ra sama sekali tak tertarik menikmatinya. Matanya terpaku ke satu titik. Sebuah dompet hitam ditangannya.

“Ini dompet Shin.” Gumamnya sendiri. “Apa ini kebetulan lagi? Kenapa harus dompet Shin yang jatuh, dan kenapa harus aku yang menemukannya?”
“Ah,” Yoo Ra mengangguk – anggukkan kepalanya, “Apa jangan – jangan dia sengaja menjatuhkan ini? Dia ingin balas dendam padaku?”
Oh ya ampun! Yoo Ra mengerang frustasi. Kenapa harus dirinya? KENAPA?
Ia menghentikan langkah. Sebuah ide baru saja melintas di pikirannya. Apa dompet ini ia serahkan saja ke kantor polisi? Lebih baik ia lepas tangan dan tak perlu bertanggung jawab tentang ini. Tapi…

“Apa yang akan dikatakan orang –orang jika tahu tentang hal ini? Caci maki? Atau bahkan mungkin mereka akan tahu siapa yang menyerahkan dompet ini ke kantor polisi. Dan pada akhirnya aku akan terlibat juga?!” Yoo Ra mulai menerka – nerka. Kali ini ia tak menyalahkan dirinya karena memiliki sifat paranoid. Itu bisa saja terjadi.

“Atau, aku berikan saja pada Jin Goo. Biar dia yang mengembalikannya.”
Tapi…
Jin Goo terlalu polos tentang dunia perselebritian. Anak itu tak akan tahu akibatnya jika ia menyerahkannya langsung tanpa tahu siapa sebenarnya pemilik dompet ini. Atau yang lebih parahnya lagi, Jin Goo akan menanyakan kepada semua orang yang dikenalnya agar ikut membantu mencari si pemilik dompet. Ah, tapi, dia kan punya nomor telepon si pria berlemak yang semalam. Bukankah lebih aman menyerahkan dompet ini kepada si pria berlemak?

Tiiinnnn…

Demi Tuhan, Yoo Ra terlonjak kaget mendengar klakson mobil yang baginya lebih mirip bunyi bom itu. Sebuah mobil berwarna silver menepi disisinya. Mengagetkan saja! Sebelum sempat ia marah – marah, si pemilik mobil menurunkan kaca mobilnya. Wanita berusia awal lima puluhan itu tersenyum ramah memperlihatkan giginya yang berjajar rapi. Meskipun sudah berumur, ia masih terlihat cantik dengan dandanan rapi yang elegan.

“Eomma?!” Yoo Ra hampir tak mempercayai penglihatannya.
Choi Jung Eun−ibu Yoo Ra semakin mengembangkan senyumnya, ia juga tak menyangka bertemu putrinya di jalan seperti ini. “Apa yang kaulakukan disini? Sendirian?”
Yoo Ra mengangguk. Memangnya sejak kapan ia pergi ditemani seseorang?

“Masuk!” seru Ibunya langsung. Yoo Ra masuk ke dalam mobil silver ibunya tanpa banyak berkomentar.
Ibu Yoo Ra adalah seorang dokter kejiwaan yang bekerja di sebuah rumah sakit di Seoul. Seorang wanita yang hebat, sebagai ibu juga sebagai dokter. Sejak Ayahnya meninggal dua tahun yang lalu, Yoo Ra memutuskan untuk belajar hidup mandiri. Ibunya mengizinkannya. Dan kini, ibunya tinggal di rumah lama mereka bersama adik Yoo Ra yang masih kelas satu SD.

“Yaampun, sayang.” Erang ibunya begitu Yoo Ra memasang sabuk pengaman.
Yoo Ra mengerjapkan mata, heran, “Ada apa Bu?”
Wajah Ibunya tampak panik, “Wajahmu.”
“Kenapa wajahku?”
“Kau baru dua puluh dua tahun, sayang. Kenapa kerutan di wajahmu seperti orang berumur lima puluh? Dan lihat, lingkar panda itu. Ah, ya ampun. Kau pasti sering begadang?”

Yoo Ra menatap wajahnya lewat kaca spion tengah. Wajahnya memang pucat, disekitar matanya tampak lingkaran hitam yang menyerupai mata panda. Tapi ia tak setuju soal ‘mirip usia lima puluh’.
“Ah, aku hanya lelah bu.” Sahutnya.
“Kau sudah makan?” tanya Ibunya sambil menghidupkan mesin mobil.
Yoo Ra hanya menggigit bibir, berfikir, apa ia sudah makan?
“Kau mau kemana?” tanya Ibunya lagi. Kali ini mobil silver miliknya sudah berjalan. “Ini hari Minggu, kau tidak masuk kerja kan?”
“Tentu saja tidak!” balas Yoo Ra cepat, “Aku tidak serajin itu, Bu. Aku hanya sedang berjalan – jalan.”
“Baiklah, setelah menjemput Kyung Joon. Ibu akan memasakkan makanan untuk kalian berdua.”
Yoo Ra menatap jalanan di hadapannya, tersenyum lebar “Ne, Bu Dokter.”
Setidaknya ia ingin menenangkan diri. Lagi pula, ia juga merindukan Kyung Joon−adiknya.

***

Kyung Joon adalah anak laki – laki berambut hitam legam dan berkulit seputih susu. Senyumnya terkadang tertutup dengan ekspresi dingin yang membuatnya tampak tidak bersahabat. Bagi yang belum mengenalnya, Kyung Joon mungkin dianggap anak yang tidak bersahabat. Tapi jika mereka mulai membuka percakapan terlebih dahulu pada Kyung Joon,  tanpa terkecuali, siapapun pasti langsung jatuh hati pada anak ini. Kyung Joon anak yang manis dan baik hati, tapi juga sangat pintar.
Kali ini, Yoo Ra duduk bersebelahan dengan adiknya itu di salah satu lorong rumah sakit tempat Ibu bekerja. Lorong itu tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa orang yang melintas dengan terburu –buru, hal yang biasa di rumah sakit. Yoo Ra tahu jelas ini rumah sakit jiwa, ia pun memasang mata mengawasi sekitarnya. Sebelah tangannya menggenggam es krim cokelat yang menjadi sogokan ibunya dengan alasan menyuruh mereka berdua menunggu di sini, sementara tangan lainnya menggenggam erat tangan Kyung Joon, takut – takut kalau adiknya itu tiba – tiba melompat seperti katak yang tiba – tiba kabur.

Kyung Joon sendiri sibuk dengan es krim vanilanya, menjilatinya dengan teliti sampai tak ada satu bulir pun menetes, tapi mulutnya yang tidak bisa ia kontrol, es krim itu menodai sekitar mulutnya. Yoo Ra refleks membersihkan mulut adiknya.
“Kyung Joon-a, kau belepotan.”
Kyung Joon tersenyum lucu, “Nuna, kenapa es krim-mu tidak dimakan?”
“Aku sedang memakannya,” Yoo Ra pura – pura sibuk menjilati es krimnya. “Ini enak.”
“Kalau tidak mau, buat aku saja!” Kyung Joon tidak mendengarkan omongan Yoo Ra.
“Ah, kau mau?” Yoo Ra tertawa, “Baiklah, ini untukmu!”
Kyung Joon menerimanya dengan senang hati.

Rencana masak ibunya tertunda karena tiba – tiba ada panggilan darurat dari rumah sakit. Seorang pasien dalam keadaan gawat. Dengan berat hati, akhirnya ibunya melajukan mobil dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit. “Konsekuensi profesi,” ucapnya dengan raut wajah menyesal.
Setelah membelikan dua batang es krim, ibunya meminta Yoo Ra dan Kyung Joon menunggu di lorong rumah sakit yang tampak tak terlalu sesak pengunjung. Cukup nyaman sebagai tempat menunggu.
“Kyung Joon-a,”
Kyung Joon menoleh, “Ne, nuna?”
“Apa ibu sering menyuruhmu menunggu begini?” tanya Yoo Ra tiba – tiba, penasaran.
Kyung Joon mengangguk.
“Iya?” Yoo Ra meninggikan suaranya. “Bagaimana bisa ibu meninggalkanmu di tempat seperti ini?”
“Bisa saja,” sahut anak itu tanpa sedikit pun rasa takut, “Aku suka di sini.”
Kali ini, Yoo Ra mendekati adiknya, menatap wajah anak tujuh tahun itu lekat – lekat, “Ibu suka meninggalkanmu sendirian disini?” tanyanya sekali lagi, memastikan.
“Aku ditinggalkan dengan suster – suster cantik nuna. Biasanya dengan suster Soo Hyun.” Jelas Kyung Joon, membuat Yoo Ra menghela napas lega.
“Tapi, Kyung Joon-a, kau harus tetap berhati – hati. Harusnya tidak ada anak kecil di tempat seperti ini. Jadi, jangan pernah sekali – kali berkeliaran tanpa pengawasan orang dewasa.” Yoo Ra mewanti – wanti dengan nada cemas.

Kyung Joon mengangguk, tapi Yoo Ra tak yakin anak itu tidak mencerna kata – katanya karena terlalu sibuk dengan es krim – eskrimnya. Yoo Ra menunggu sampai adiknya itu menghabiskan es krimnya.
“Nuna!” Setelah kedua es krimnya habis, Kyung Joon menarik – narik kaus Yoo Ra. Anak itu terlihat begitu antusias.
“Waeyo?”
“Apa kau ingin bertemu nuna yang baik?” tanyanya dengan wajah cerah cemerlang.
“Nuna yang baik?” Yoo Ra mengerjap heran, “Suster? Dokter?”
“Bukan,” Kyung Joon menggeleng, “Ayo ikut denganku!”

Ada yang tidak beres. Nuna yang baik? Kalau bukan suster atau dokter, lalu siapa? Sebelum sempat ia menolak, Kyung Joon sudah menariknya berdiri. Yoo Ra mengimbangi langkah kecil adiknya menyusuri lorong, dan berhenti di ujung. Di depan sebuah kamar rawat. Saat itu juga Yoo Ra tahu siapa yang Kyung Joon maksud ‘nuna yang baik’. Seorang pasien yang menghuni kamar nomor 2005.
2005? Angka itu seperti familier baginya.
***

Penghuni kamar 2005 itu adalah seorang gadis muda dengan rambut panjang bercat cokelat tua. Gadis itu duduk membelakangi pintu, menghadap ke jendela teralis yang bertirai putih. Anehnya, kamar itu tidak terkunci. Seolah – olah rumah sakit tak takut jika pasiennya ini melarikan diri.

Yoo Ra membiarkan Kyung Joon membimbingnya masuk. tapi, ia langsung dengan sigap menggenggam tangan adiknya ketika Kyung Joon hendak mendekati gadis itu. Kyung Joon menatap kakaknya dengan sorot mata heran. Anak ini mungkin tak paham bahwa orang – orang di tempat ini memiliki penyakit yang mungkin dapat membahayakan keselamatannya.

Yoo Ra menggeleng. Kyung Joon justru memelototinya.
“Nuna, aku datang!” Akhirnya anak itu berseru riang.
Gadis itu tak memberikan respon.

Jantung Yoo Ra berdegup kencang. Walaupun ibunya bekerja mengurus orang – orang berkelainan jiwa, ia sama sekali belum pernah menghadapinya secara langsung. Yang ia lihat di TV, orang – orang berkelainan sering melakukan hal – hal berbahaya yang mungkin membahayakan orang lain di sekitarnya. Jadilah saat ini, ia hanya bisa bersiaga. Ia akan langsung menarik adiknya pergi jika saja tiba – tiba gadis itu berbalik dan tertawa cekikikan, atau tiba – tiba mendekati mereka dengan wajah konyol, yang penting ia harus siap apapun yang terjadi.

“Nuna, ini aku Kyung Joon.” Kyung Joon mengeraskan suaranya, tak merasa takut sama sekali, mencoba mengusik gadis itu.
Setelah mendengar nama Kyung Joon, perlahan, tubuh berbalut sergam pasien itu berbalik. Menampakkan wajah manis yang terlihat pucat. Sorot matanya redup. Tapi senyum di bibirnya seolah melenyapkan beban yang terpancar dari matanya.

“Nuna, aku datang lagi.” suara riang milik Kyung Joon menarik Yoo Ra kembali ke kesadarannya. Kyung Joon dengan lihai langsung melepaskan tangannya yang sejak tadi Yoo Ra genggam. Anak itu langsung menghambur ke pelukan gadis itu, membuat Yoo Ra terpaku bingung.
“Nuna, apa kau masih sakit? Kenapa tidak keluar – keluar dari sini? Bukankah kau berjanji ingin pergi ke taman bermain denganku?” Kyung Joon berbicara akrab dengan gadis itu.
Gadis itu tersenyum lalu mengelus lembut rambut Kyung Joon. “Tentu saja kita akan melakukannya. Tapi tidak sekarang, Kyung Joon.”

Kyung Joon merengut kecewa.

Mereka berdua terus saja berbincang seru, tentang ini itu. Melihat semua itu, Yoo Ra tak punya keberanian menarik Kyung Joon pergi. Jika ia melakukannya, ia akan berubah menjadi seorang kakak yang jahat di mata Kyung Joon. Tapi kan, gadis itu sedang sakit. Ia bahkan tidak tahu apa penyakitnya.

Setelah sekian lama membiarkannya berdiri mematung, akhirnya Kyung Joon menoleh, seolah baru menyadari ada kakaknya disana. Anak itu mendekatinya dan menuntunnya mendekati gadis yang ia katakan nuna yang baik itu.
“Nuna, ini nunaku, namanya Park Yoo Ra. Dia cantik kan? Sama seperti nuna.” Kyung Joon memperkenalkan kami berdua, memaksa kedua tangan kami berjabat.
Gadis itu tersenyum ramah, layaknya orang – orang berkenalan. Tak ada tanda – tanda ia memiliki kelainan jiwa.
“Sun Hee,” gumamnya lirih.
“Yoo Ra,” balas Yoo Ra tersenyum.
Apa yang salah dari gadis ini?
Yoo Ra menoleh ke papan yang tertera di tempat tidur kamar itu, papan yang mencantumkan data pasien.

Choi Sun Hee. 25 tahun.

Penyakit yang tertera disana tertulis dalam bahasa latin yang tidak Yoo Ra pahami. Tapi, kata di akhir penyakit itu sering ia dengar. Ia tahu artinya adalah ‘trauma’.

***

Selepas siaran radio malam itu, Shin memilih kembali ke apartemennya lagi. Ia baru akan melangkah masuk ke kamarnya ketika tiba – tiba terdengar bunyi bel nyaring. Seseorang yang tak tahu diri menekan bel apartemennya dengan menggila. Shin menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal, lalu berderap membukakan pintu.

“Surprise!!!” seru Yongseok, Sangmin, Seyoung, Casper dan Takuya bersamaan.
“Oh baiklah aku terkejut.” Ucap Shin dengan nada datar, pura – pura terkejut, “Apa yang kalian lakukan disini?”

Yongseok yang menghentikan cengirannya paling dulu, ia melotot galak ke arah Shin, “YA! Won ho, kau tidak menyuruh kami masuk? Kau tidak tahu kan sepanjang hari kami bekerja mati – matian.”
“Kau berlebihan Yongseok.” Tegur Seyoung sebelum Yongseok sempat membual lagi. “Apa kami mengganggumi, Shin?”
“Aniya, kalian boleh kesini kapanpun, silahkan masuk,” Shin membuka pintunya lebar – lebar dan masuk lebih dulu, diikuti teman – temannya.
“Woah, aku tidak pernah datang kesini.” Sangmin memandang berkeliling, “Kau tidak pernah cerita punya apartemen sebagus ini, Shin.”
Shin melangkah masuk ke kamarnya. Sementara member lain sudah sibuk masing – masing. Sangmin menonton TV, casper dan Takuya mencari makanan di kulkas, Yongseok yang duduk di sofa.
“Tidak banyak makanan disini.” Casper kembali ke ruang tengah dengan hanya membawa sebotol jus ditangannya.
“Baiklah, aku akan keluar sebentar,” Yongseok bangkit berdiri, “Kalian ingin kubelikan apa?”

***

“Hati – hati di jalan!” Yoo Ra melambaikan tangan ke arah mobil ibunya yang berjalan menjauhi gedung asrama kampus tempatnya berdiri.
Ia menghela napas ketika mobil Ibunya itu menghilang di tikungan jalan. Mereka baru saja menyelesaikan makan malam di rumah Ibunya, setelah menikmati makan malam yang menyenangkan, Ibu menyuruh Yoo Ra tetap tinggal dan menginap, tapi Yoo Ra tidak mau. Ia minta diantarkan pulang. Sebenarnya ia punya alasan untuk hal itu.
Ia masih memiliki tanggung jawab yang harus segera ia selesaikan. Ia mengeluarkan dompet Shin dari saku celananya. Hal ini harus segera diselesaikan. Lebih  cepat lebih baik.
Bukannya berjalan memasuki gedung asrama, ia justru berjalan pergi. Lagipula, gedung asrama pasti sudah ditutup. Percuma saja, ia tidak akan bisa masuk.

***

Satu hal yang Yoo Ra khawatirkan. Ia tidak takut jika Shin memarahinya, memaki atau apalah terserah. Yang ia takutkan hanya satu hal, bertemu pria cabul itu lagi! Sepanjang jalan, ia mengutuk diri dalam hati, berdoa, dan berharap ada keajaiban agar ia tidak bertemu pria cabul seperti terakhir kali ia berkunjung ke apartemen Leopard.

Karena ini belum terlalu malam, ia harap tak ada hal aneh di apartemen itu. Perjalanannya masih sekitar lima menit lagi, tidak jauh. Yoo Ra mempercepat langkahnya. Untungnya ia sempat meminjam jaket ibunya, jadi ia tidak terlalu kedinginan.

Yoo Ra berjalan ke tikungan jalan yang sepi. Ia mempercepat langkah agar cepat sampai di jalanan yang lebih ramai. Jalan itu cukup jauh dari kompleks perumahan lain, tak ada toko atau apapun yang membuatnya lebih ramai. Tiba – tiba, samar dari kejauhan ia melihat sesuatu. Yoo Ra memperlambat langkah, mencoba melihat dengan jelas sosok orang yang berdiri dibawah sinar lampu jalan yang temaram. Ketika jaraknya semakin dekat, Yoo Ra hanya mematung, kakinya gemetar takut. Apa yang pria itu lakukan?

Seorang pria setengah baya berpakaian serba hitam menyeret seorang gadis berseragam SMA ke sudut di belakang lampu jalan itu. Walaupun itu ‘sudut’, Yoo Ra dapat melihat jelas di posisinya berdiri saat ini. Gadis SMA itu berteriak histeris, minta tolong, berusaha melawan sekuat tenaga. Tapi semuanya sia – sia. Dia kalah, hanya seperti mainan yang meraung – raung tidak berdaya.

Yoo Ra menyadari napasnya tercekat, takut. “Apa yang harus kulakukan?”
Otaknya mulai berpikir, ia harus melakukan sesuatu. Harus. Pilihannya jatuh pada sebongkah batu sebesar ponsel yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Tanpa banyak pertimbangan, Yoo Ra meraih batu itu, lantas melemparkannya ke arah pria cabul itu.
Dan…
Plak, batunya telak menyambar kepala pria itu, membuatnya tersungkur dan mengaduh kesakitan.
Yess! Ini saatnya!
“YA! Kemari, cepat!” Yoo Ra berseru pada si gadis SMA. Walaupun tampak masih terpukul dan agak linglung, gadis SMA itu mengerti apa yang Yoo Ra maksud, ia pun berlari menghampiri Yoo Ra. Setelah gadis SMA itu membiarkan Yoo Ra menggenggam tangannya, seolah memegang tanggung jawab besar, Yoo Ra langsung membawanya berlari.
“YAAAA!!! Berhenti kalian!!!” Suara pria cabul itu terdengar menggelegar marah.
Yoo Ra tak peduli. Yang ia tahu, ia harus lari lebih kencang jika ingin selamat. Digenggamnya lebih erat tangan gadis SMA di sisinya. Dengan cara itu, ia ingin meyakinkan gadis itu bahwa semuanya akan baik – baik saja.
Yoo Ra menoleh sesaat ke belakang. Alangkah terkejutnya dia ketika menyadari pria cabul itu mengejar mereka!
***

Yoo Ra yakin ia dan gadis SMA disisinya sudah berlari jauh, tapi mereka masih bisa mendengar samar – samar suara pria cabul yang mengejar mereka.

“Eonnie, aku sudah tidak kuat.” Ucap si gadis SMA sambil memegang lututnya.
Yoo Ra mulai berpikir. Tatapannya jatuh ke minimarket tak jauh dari tempat mereka berdiri. Mereka harus sembunyi!

“Kajja, aku tidak bisa meninggalkanmu disini, cepat!” dengan sedikit memaksa, Yoo Ra mengajak gadis itu masuk ke mini market.
Seorang gadis yang berdiri di belakang meja kasir menatap mereka dengan sorot wajah keheranan. Tanpa banyak bicara, Yoo Ra langsung menyuruh gadis SMA bersembunyi di bawah meja kasir.
“Aku titip dia.” Ujar Yoo Ra pada gadis penjaga kasir, “Kalau ada pria yang datang dan menanyakan keberadaan kami. Jangan bilang apa – apa. Bilang saja kau tidak tahu.”
Gadis penjaga kasir tidak menggeleng atau mengangguk, ia hanya memasang wajah heran. Tapi Yoo Ra tak peduli, ia sendiri langsung berjalan merangkak bersembunyi diantara rak – rak makanan, mengintip sebisa mungkin.

“Apa yang kaulakukan disitu?”
Yoo Ra menoleh. Seseorang yang sedang berbelanja menegur dengan tidak sopan. Ia tak peduli dan tetap bersembunyi.
“Hei, agashi, bisa kau agak minggir, aku ingin mengambil makanan itu.” Pria disampingnya menegur lagi.
Yoo Ra mengambil satu bungkus makanan di depannya dan menyerahkan pada pria di sampingnya, tanpa menoleh, “Ini!”
“Ck, ini kurang,” keluh pria itu. “Bisa kau minggir saja, sedang apa sih? Kau seperti buronan yang bersembunyi dikejar polisi.”
Dasar cerewet! Umpat Yoo Ra dalam hati. Tapi, belum sempat ia membalas ejekan itu, tiba – tiba terdengar suara pria cabul yang mengejarnya tadi. Pria itu masuk ke mini market dengan tampang garang.
Gadis penjaga kasir segera sadar, ia melirik Yoo Ra takut – takut. Yoo Ra segera menggelengkan kepala. Gadis penjaga kasir mengerti dan berusaha bersikap sopan.

“Hei, kau dengar aku?” kali ini pria di samping Yoo Ra mengoceh lagi.
Dengan satu sentakan cepat, Yoo Ra menarik tangan pria itu sampai terduduk. Dibungkamnya mulut pria itu dengan tangannya.
“Diam!” ucap Yoo Ra tertahan.
Pria itu melotot terkejut, begitu pula Yoo Ra.
Serta merta bungkaman tangan Yoo Ra terjatuh.
Pria itu sadar lebih dulu, tatapannya memastikan, “Bukankah kau gadis yang di depan restoran semalam?”

Yoo Ra mengangguk, “Dan kau…”


Sebelum Yoo Ra menyelesaikan kalimatnya, pria itu menyela lebih dulu, “Benar, aku Kim Yong Seok.”


TO BE CONTINUED...
Maaf lama banget posting chapter 6 ini. Ditunggu komentarnya...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hello Monster (Remember You) Korean Drama

[MV] HUH GAK ‘The Person Who Once Loved Me’