Tentang Kamu yang Tak Tahu Arti Menunggu by Tarina Arkad

Judul : Tentang Kamu yang Tak Tahu Arti Menunggu
Penulis : Tarina Arkad
Editor : Dion Rahman
ISBN : 9786020454719
Pertama Terbit : 19 Februari 2018
Rate : 3.5/5


(SOURCE: ELEX MEDIA KOMPUTINDO)


BLURB :

Gandis tahu mereka sudah berjanji. Namun Diyan mengingkari. Gandis percaya bahwa berharap lebih artinya siap dikecewakan, hanya saja ia lupa bahwa orang terdekatlah yang justru punya kesempatan melukai lebih besar.

Lalu Diwang muncul, menawarkan harapan yang tak ingin Gandis yakini. Tidak seharusnya perasaan itu ada di tengah ikatan persahabatan. Tapi Diwang percaya justru Gandis satu-satunya orang yang bisa membuatnya jatuh cinta setengah mati.

Gandis menyadari kerumitan ini. Hingga ia tak menyangka kehadiran sosok yang menyederhanakan semua. Sosok tak disangka yang mengubah tangisan luka menjadi semburat senyum bahagia.

Ini tentang janji yang diingkari. Tentang harapan yang dikecewakan. Tentang sosok tak disangka yang datang mengobati luka.


Pertama-tama, aku mau ngucapin terima kasih buat buku gratisnya. Hehe. Entah siapa yang ngasih, si mas editor atau mbak Tarina Arkad. Semoga berkenan dengan review ini. Kebetulan aku udah lama nggak nulis review tapi lumayan sering juga ngulas naskah-naskah wattpad yang masih mentah, cenderung ngasih masukan dan nyari kesalahan. Hehe. Jadi ya mohon disikapi bijak aja ya kalo reviewnya terkesan begitu.

Jujur, aku tipe pembaca yang pemilih. Sayang rasanya kalo waktu kupakai buat baca novel yang sebenarnya nggak aku suka baik tema maupun alurnya. Aku juga tipe yang abis baca satu mau cepet-cepet yang lain. Makanya, aku nilai penulis pertama-tama dari diksi atau gaya ceritanya. Kalo tulisannya bisa bikin aku gulir tulisan dengan cepat, aku bakal baca sampai habis. Sebaliknya, kalo dari awal aja udah belibet dibaca, aku bakal langsung ganti buku. Dan novel ini memenuhi standar dasar itu. Jadi alasan sedehana itu yang bikin aku mulai baca sampai abis (selain karena kewajiban ngereview buku cuma-cuma. Wkwk), juga satu lagi, ilustrasi dan quote-nya kece.

Gebrakan lini LiT dari elex ini kayak kasih aura baru ke genre teenfiction yang sebelumnya tenar di GM (teenlit). Kalo dari jaman old dulu, tiap nemu teenfict berlabel teenlit GM, pasti bakal disuguhi bahasa dan diksi khas remaja banget dengan segala bahasa gaul kekinian, istilahnya nggak baku banget gitu. Tapi LiT-nya elex nunjukin kalo fiksi remaja juga bisa pakai bahasa kelas sastra yang nggak receh tapi juga menjiwai kehidupan remaja banget. Jadi jangan salah nilai, penulis teenfict sekarang juga jago ngediksi. Hehe.
Oke, kebanyakan mukadimahnya. Langsung aja yang penasaran. Aku kupas novel ini per-poin ya!


Cover, Ilustrasi Isi :

Kayak yang aku bilang di atas, aku suka ilustrasinya. Kak Ulayya Nasution yang buat. Gandis, Diyan, Diwang sama Langga jadi kebayang kayak gimananya, mendukung banget deskripsi penulis. Cuma aku nemu ada kurang sinkron antara gambar dan deskripsi penulis. Si Gandis, di deskripsi, penulis bilang rambutnya ikal sepinggang dan selalu digerai. Sedangkan gambar ilustrasi Gandis rambutnya lurus dan diikat ekor kuda. Ini dibahas pas POV Diyan kalo nggak salah deh. Tapi aku mikir lagi. Kayaknya pas Gandis main bulu tangkis sempet dibilang lagi kalo dia rambutnya dikuncir. Jadi aku nggak tahu ini yang nggak pas ilustrasinya, atau emang deskripsinya nggak konsisten. Harusnya kalo memang mau begitu, penulis nggak usah bilang si Gandis selalu dikuncir pas pov-nya Diyan. Di awal kalo nggak salah inget. Yah, namanya orang kan, bisa aja sesekali mau diikat rambutnya biarpun nggak suka. Apalagi kalo Diyan sama Gandis kan frekuensi pertemuannya lebih banyak di lapangan bulu tangkis. Dan kayaknya jarang banget pemain bulu tangkis yang rambutnya panjang digerai pas lagi main. Gerah bener pastinya tuh kalo emang ada. Wkwk. Jadi otomatis mustahil Diyan bilang Gandis rambutnya selalu digerai. Just it. Dan, karena PROLOG itu pov satu dan begitu buka lembar berikutnya pembaca (aku) dikasih gambar Gandis, jadi keliatan banget. Tadi katanya rambutnya ikal dan selalu digerai. Lho, ini kok? Oh, atau mungkin ini bukan Gandis?

Untuk Diyan, Diwang sama Langga sih oke. Aku bisa ngenalin Diyan dari rambutnya. Diwang dari senyum sok iyeh-nya. Sama Langga dari tampang dinginnya.

Lanjut ke cover. Waktu liat cover novel ini di medsos, aku nggak nyadar kalo gambar yang di cover itu net bulu tangkis. Hehe. Baru banget pas megang fisiknya aku ngeh. Oh ternyata ini gambar net. Dan yah, kesan bulu tangkis yang muncul pas liat covernya beneran manggil-manggil buat baca. Font-nya cakep. Mungkin karena judulnya kepanjangan dan memuat ruang, gambar net-nya jadi terdistraksi dan bikin mata-mata nggak peka kayak aku kurang nangkep (lo aja kali yang siwer, Nin. Hehe). Skip. Tapi kalo dibanding sama yang pilihan-pilihan lain pas vote cover, emang ini yang paling nangkep di mata sih.


Opening + Ending :

Suka-suka sih sebenarnya. Di novel ini, penulis pake pov 1 untuk gambarin PROLOG dan EPILOG. Aku sebagai pembaca, nggak ada masalah, enjoy aja. Tapi kalo sebagai penulis, aku nganggap ini agak distrak. Pas baca PROLOG kupikir isinya juga bakalan pakai POV 1, ternyata POV 3. Mungkin penulis punya alasan sendiri mengapa dibuat demikian. Aku nggak banyak nemu novel dengan POV campuran. Sementara peristiwa dalam novel ini mengandung kesinkronan waktu dari PROLOG ke bab satu. Seminggu sebelum tahun baru dan pas malam tahun barunya. Jadi kesannya tuh pas baru enak dan nyaman dikasih narasi pov 1, tiba-tiba di blekkin (bahasa apa sih ini) pov 3 sekaligus harus nyerna waktu. It’s oke ini nggak masalah. Tapi, alangkah baiknya kalo pembaca nggak harus berpikir dan langsung ting! Oh, ternyata nih seminggu setelah si orang pertama di prolog dilema ngeliat apalah-apalah itu. Lebih nice begitu sih menurutku. Jadi fokus pembaca akan tetep ke teka-teki Diyan.

Masih tentang POV 1 dan 3 dalam satu cerita. Kalo naskah mentah mungkin aku akan langsung nilai kurang rapi, tapi karena novel ini udah terbit ya, bagus-bagus aja.
Mungkin penulis mau kasih feel lebih untuk gambarin perasaan Diyan. Tapi menurutku, pakai POV 3 pun, diksinya penulis dah cukup kaya buat nampilin kesan serupa. Kan jadi nggak perlu nyampur-nyampur POV. Hehe. Mungkin juga penulis mau bikin tanda tanya besar di awal. Tapi pake POV 3 malah lebih nendang sih menurutku buat bikin teka-teki. Yea, I dunno. But, it’s oke, nggak masalah. Karena diksinya emang udah kece.

Sekarang, ending. Dalam hal ini EPILOG. Di situ diceritakan kalo Diyan masuk jurusan yang sama kayak Gandis. Nggak disebut jurusan apa. Tapi di sana ada mata kuliah pengantar ilmu komunikasi. Aku mikirnya matkul ini pasti adanya di jurusan ilmu komunikasi, jurnalistik dan sejenisnya. Iya nggak sih? Atau di jurusan lain juga ada? Terus Diyan bilang dia masuk lewat jalur prestasi. Setahuku, Diyan berprestasi di olahraga. Dan Diwang pernah nyinggung kalo Diyan nggak cukup pintar buat menyimak pelajaran (artinya dia nggak pinter-pinter amat kan?). Bukannya jalur prestasi itu bisanya satu lini aja ya? Kalo Diyan jago olahraga, harusnya dia bisa lewat jalur prestasi untuk jurusan olahraga aja. Nggak bisa ke jurusan lain. Kalo pengertianku salah, silakan dikoreksi.

Masih di EPILOG, diceritakan kalo Diyan dan Gandis akhirnya dah jadi keluarga. Tenggat waktunya semester 1 jaman kuliah. Jadi kalo kasarannya mereka dah jadi keluarga paling enggak tiga bulan, pasti lebih lah. Tapi masa sih Gandis masih manggil papanya Diyan dengan sebutan Om dan Diyan masih manggil mamanya Gandis dengan sebutan Tante. Bisa aja sih ada kesepatakan atau semacamnya di antara mereka untuk panggilan. Tapi kan nggak diceritain. Si mama Gandis ama papa Diyan juga masih nyebut diri masing-masing dengan sebutan Om Tante. Kesannya kayak belum nikah. Padahal jelas-jelas udah ada foto pernikahan. Aura pernikahannya nggak terasa. Meskipun ini sudut pandang Diyan, harusnya dari hal kecil seperti itu keliatan dan menguar aura perbedaan antara semua chapter dan epilog ini. Yah, minus Gandis yang rambutnya jadi pendek dan Langga yang udah jadi pacarnya—poin ini sukses menurutku.


Diksi/Gaya Bahasa :

Mbak Tarina punya modal yang oke banget dari sisi diksi. Gaya berceritanya luwes dan enak banget diikuti. Kebetulan banget aku lagi belajar gaya bercerita POV 3 yang nggak ngebosenin. Novel ini kasih bahan bakar tambahan. Nambah banyak kosa kata baru. Bikin terus pengin baca dan menambal alurnya yang menurutku agak lambat di tengah. Gaya berceritanya di awal mengingatkanku pada gaya Ika Natassa, terutama sama novel beliau yang Antologi Rasa. Tema yang diangkat kebetulan mirip. Cinta-cintaan sama sahabat. Walaupun Ika Natassa pakenya pov 1 dan novel ini pov 3. Walaupun Ika Natassa pakenya pov 1 dan novel ini pov 3, di beberapa adegan entah kenapa nuansa yang tercipta tuh ngingetin aku ke sana. Modal yang okelah pokoknya. Aku belajar banyak dari diksinya Mbak Tarina.


Karakter Tokoh :

Karakter yang paling menonjol dan remembering menurutku Diwang. Gimana lepasnya kalo penulis lagi gambarin side Diwang. Dibanding tokoh lain memang dia yang paling terbuka sih. Buatku berhasil di sisi Diwang. Mungkin juga dari semua tokoh cuma dia nggak perlu nutupin apa-apa, jadi terasa pure aja. Sisi psikisnya enak deh diikuti.

Langga dan Diyan. Aku sempat ketuker ngenalin ilustrasi gambar dua tokoh ini. Pas lagi nulis ini aku baru ngeh yang rambutnya agak cepak itu Diyan dan yang rada-rada acak-acakan itu Langga. Kupikir sebaliknya. Aku terkecoh ama deskripsi penulis yang bilang rambutnya Diyan acak-acakan dan hidungnya Langga mancung kayak perosotan. Wkwk. Aku aja yang kurang perhatian sih. Hihi. Antara mereka berdua nggak ada masalah. Aku suka diem-diem manisnya Langga. Dan beneran nggak suka si Diyan yang labil itu.

And among the boys, yang sulit dibedakan dari mereka adalah soal minat. Diyan jago olahraga, tadinya main bultang lalu pindah ke futsal. Diwang main futsal dan Langga main bulu tangkis. Mereka semua suka nge-game dan suka film. Oke, mungkin ada yang nggak suka tapi aku lupa dan ingetnya begitu. Soalnya hampir keseluruhan alur isinya kalo nggak main futsal ya bulu tangkis. Dan semua tokoh nyemplung ke satu minat semua. Maybe karena mereka sahabatan ya. Tapi pas di tengah jujur aku rada nge-blank bedain mereka. Mungkin juga futsal dan bulu tangkis di sini agak bentrok. Hehe. Bentrok di otakku maksudnya. Kayak yang kubilang sih, Diwang yang paling kuinget banget. Karena deskripsi sama pembawaannya dia cocok. Playboy, cara dia mikir, sinkron. Favorit karakter.

And last, Gandis. Terlepas dari deskripsi penulis, aku dapat kesan kalo Gandis ini tipe cewek yang cuek, keras kepala dan agak kekanakan. Kadang aku liat dia bersikap kayak cewek yang terbuka banget, nggak suka langsung marah, dikecewain langsung marah tanpa mau denger penjelasan. Tapi di sisi lain, terutama pas pulang ke rumah dia langsung jadi si melankolis yang tertutup. Di luar pun, dia yang keliatannya sok cuek bisa tiba-tiba nangis kalo bersinggungan sama hal-hal menyedihkan dalam hidupnya. Dia tipe manusia yang berpikir ke dalam, mengolah segala peristiwa berdasarkan persepsinya. Tipe yang kalo di dunia nyata bakal langsung aku jauhin karena dari sikapnya jelas kelihatan dia nggak pernah ikut mikir gimana perasaan orang lain, apa yang mungkin terjadi sama orang lain, atau apa keinginan orang lain. Dia menghindari kata ‘mungkin’ dan langsung narik kesimpulan dari peristiwa.
Apa namanya? Childish? Sahabatnya yang cewek itu juga pernah nyinggung kan ya? Sejujurnya karakter utama cewek ini aku kurang suka. Will-nya dia kurang. Pas ditanya mamanya soal peningkatan permainan bulu tangkisnya (apa sih namanya lupa.), Gandis jawab karena alasannya berjuang udah ilang.

Jadi kalo ditafsirkan, novel ini berjalan terlalu lama disebabkan Gandis yang teramat konservatif. Masalah sederhana jadi melebar karena dia menunda-nunda kegalauan, menunda penyelesaian. Tapi dari dia aku belajar, kalo masalah yang didiemin itu nggak bakal selesai, tetep utuh. Jadi sepahit apa pun penyelesaiannya, lebih baik disegerakan. Walaupun mungkin pasti harus menahan ego, dan berakhir belum tentu baik, seenggaknya hati lebih tenang. Sedihnya mungkin sama. Tapi lebih baik daripada terombang-ambing dalam situasi nggak pasti, kan?


Penggambaran Latar :

Novel ini masuk dalam aliran mengedepankan alur. Prinsip utama yang membangun segala unsur di dalamnya. Jadi latar nggak terlalu digarap fokus sih menurutku. Pas di lapangan futsal nggak dibahas tuh lapangan kayak apa. Di lapangan bulu tangkis pun begitu. Terus aku nemu agak belibet dan baru tahu di hampir akhir kalo Gandis, Langga, Diwang sama Diyan tinggal di satu kompleks yang sama. Iya nggak sih? Bilang kalo aku salah. Tapi penulis nggak bilang dengan gamblang. Aku baru ngeh pas Langga yang sebenarnya jarang dikasih porsi rumah ke rumah bilang kalo mereka semua sebenarnya sekompleks. Yah, itu nggak penting.
Meskipun nggak pakai latar yang begitu detail, soal tempat, alur dan diksinya menambal bagian itu jadinya tetep aja enjoy diikuti.

Untuk latar waktu, selain keluhan di awal aku nggak begitu merhatiin lagi sih. Dan untuk latar suasana, nggak begitu terekspos. Gaya cerita penulis di novel ini lebih ke langsung tancap ke adegan daripada banyak basa-basi bangun suasana dulu.


Alur :

Buat aku yang biasa menikmati novel bertempo cepat dengan alur yang juga bergerak cepat, novel ini masuk jajaran alur lambat dan kurang cocok sama tipe pembaca nggak sabaran kayak aku. Tapi karena penulis punya gaya cerita yang luwes, cerita ini jadi tetep enak diikuti. Tiap tokoh punya side story masing-masing. Seandainya side story mereka ikut berpartisipasi menggerakkan alur di samping makanan utama salah pahamnya Gandis sama Diyan, pasti lebih kece.


Teknik Cerita :

Selain POV yang tadi juga masuk teknik harusnya, aku menemukan beberapa jalinan adegan yang terkesan kurang manis lantaran penempatannya kebalik. Antara bab 5 dan 6 pas adegan berantem. Di sana urutannya, berantem-balik ke parkiran mall-baru ke janji temu Langga. Istilahnya ini alur maju-mundur ya? Tapi kode alur maju-mundurnya kurang. Ada baiknya di narasi ditambahkan sedikit keterangan, jadi langsung ngeh kalo ini tuh lagi maju atau yang itu lagi mundur. Kalo pola yang penulis pake ini jadi bikin bingung lagi soal lagi-lagi waktu. Bakalan lebih ringkes dan cantik kalo adegan balik ke parkiran itu diilangin aja. Selebihnya aku menikmati sekali.


Pesan dan Kesan :
Over all, ini novel debut yang menjanjikan banget. Potensi penulisnya kelihatan dan bikin aku penasaran Mbak Tarina mau nulis apa lagi setelah ini. Pesan buat pembaca lain ya, jangan berkendara sebelum punya SIM kayak Gandis, hehe. Itu nggak baik.

Kesan, menurutku dalam membaca fiksi, serumit apa pun kisah yang disampaikan, akan membuat pembaca lupa berpikir dan sibuk menikmati. Hingga saat menuntaskan bacaan, tulisan itu membekas di hati dan itu yang akan bertahan lama sampai nanti. Terasa seperti mengarungi kisahnya sendiri.

Tentang Kamu yang Tak Tahu Arti Menunggu menorehkan satu kalimat setelah aku menutupnya:
Kerahasiaan adalah seni kehidupan. Bisa saja hari ini aku mencintaimu tapi esok menjadi adikmu. Hehehe.


Terima kasih sudah menyimak review ini. Mohon maaf jika banyak salah kata atau kekeliruan dalam mengingat karena memang aku pelupa banget. Mohon maaf juga kalo banyak mengandung spoiler.
Sampai jumpa di lain kesempatan^^


Jumat, 23 Maret 2018


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hello Monster (Remember You) Korean Drama

[MV] HUH GAK ‘The Person Who Once Loved Me’

Annyeong 2005!!! Chapter 6 (Cross Gene Fanfiction)